Mencegah Isu Kecurangan Pemilu

Kalah dalam sebuah pemilihan itu biasa. Dalam setiap kompetisi pasti ada kalah dan menang. Tidak mungkin bisa menang semua. Sebentar lagi akan ada pesta demokrasi. Pemilihan Presiden Republik Indonesia. Semoga berjalan lancar dan kita bisa memiliki Presiden yang di dpilih oleh sebagian besar (Mayoritas) rakyat secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan JurDil (Jujur dan Adil). Sehingga untuk lima tahun berikutnya, siapapun yang terpilih, bisa memimpin negeri ini dengan damai tanpa caci maki, cemooh dan hinaan-hinaan yang menyakitkan dan memalukan.

Sekian lama menjadi pemilih Aktif di negeri ini saya melihat sebuah pola yang muncul setiap kali proses pemilihan di lakukan. Baik itu dalam pemilihan kepala daerah ataupun kepala negara. Pola itu saya amati sejak rakyat Indonesia di beri kesempatan untuk memilih Presidennya secara langsung, yaitu sejak tahun 2004.

Setiap kali kemenangan Pemilu di tetapkan dan salah satu Kandidat harus kalah, maka akan muncul isu kecurangan yang di hembuskan oleh pendukung kubu yang kalah. Tindakan ini mencoreng demokrasi. Kenapa tidak menerima kekalahan dengan lapang dada dan mengakui kalau dirinya belum dipercaya oleh Rakyat untuk menjadi pemimpin? Saya rasa itu lebih mulia daripada menuduh lawan politik yang menang berbuat curang.

Kecurangan dalam pemilu bisa di buktikan. Karena pernghitungan suara berlangsung secara langsung dan umum di hadapan saksi-saksi yang di sediakan oleh kubu masing-masing. Apalagi sekarang setiap orang punya kamera yang bisa di gunakan untuk merekam setiap bentuk kecurangan atau kecurigaan sebagai bukti.  Saya yakin KPU dan BaWasLu akan menindak lanjuti setiap kecurigaan yang di sertai bukti. 

Tahapan proses perhitungan suara yang paling rawan kecurangan adalah di tinggal bawah. Yaitu perhitungan suara di tingkat TPS oleh KPPS. Jika terjadi pengelembungan suara atau bentuk kecurangan lain, maka yang mungkin terjadi adalah di tingkat ini. Karena itu, jika tidak ingin terjadi kecurangan, maka kedua kubu harus menyediakan saksi-saksi yang kredibel untuk mengawasi jalannya proses perhitungan suara dari tingkat TPS hingga ke Provinsi.

Berikut ini adalah alur perhitungan suara dari TPS hingga ke Propinsi dan ke Pusat.

1. Pertama surat suara dihitung di TPS oleh KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) setelah selesai pemungutan suara. 
2. Dari TPS, hasil perhitungan suara di bawah ke kelurahan oleh PPS 
3. Dari kelurahan, hasil rekap PPS di serahkan ke Kecamatan untuk di rekap kembali oleh PPK.
4. Dari Kecamatan, hasil rekap PPK di kirim ke Provinsi untuk di rekap. 
5. Setelah Provinsi selesai merekap, maka akan di kirim ke KPU untuk kemudian di umumkan secara resmi kandidat mana yang memperoleh suara terbanyak.

Dari alur perhitungan suara ini dapat di lihat, di tahap mana yang paling rawan kecurangan. Ketika suara sudah di hitung di TPS dan hasilnya tertera di Form C1, maka hasil perhitungan suara di anggap sah dengan atau tanpa tanda tangan saksi.

Dari sinilah biasanya isu kecurangan muncul. Yaitu ketika pihak yang kalah menolak kekalahannya dan tidak mau menandatangani Form C1. Maka form C1 akan di kirim ke PPS tanpa tanda tangan. Ketidakbersediaan pihak yang kalah menandatangani formulir hasil perhitungan suara bisa memicu munculnya isu kecurangan.

Lalu apakah ketika semua saksi mau membubuhkan tanda tanganya maka tidak akan muncul isu kecurangan? Belum tentu juga. Namanya juga isu. Bisa muncul dengan atau tanpa bukti. Jadi marilah, sebagai masyaraakat yang perduli kita mengawal hasil perhitungan suara di TPS sampai selesai dengan cermatd an teliti, sehingga tidak ada satupun kandidat yang di rugikan dan merasa di curangi.
Related Posts

Tambahkan Komentar Sembunyikan